10/05/2024

Year: 2021

TIPS AGAR PENYADAPAN DOUBLE CUT PADA KLON KARET METABOLISME RENDAH LEBIH OPTIMAL

Penyadapan karet menggunakan irisan ganda (double cut/DC) sudah lebih dari 1 dasawarsa diterapkan di perkebunan karet, yaitu sejak dikenalkan sistem sadap berdasarkan perbedaan metabolisme lateksnya, atau dikenal dengan istilah sistem sadap berdasarkan tipologi klon. 

Penyadapan DC dilakukan pada klon yang metabolisme lateksnya tergolong sedang dan rendah, seperti GT 1, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PR 255, PR 261, PR 300, PR 303, PB 217, PB 330, RRIC 100, RRIC 102, RRIC 110, RRIM 717, IRR 9, AVROS 2037, TM 2, TM 6, TM 8, dan TM 9. Sistem sadap DC diterapkan di panel BI dan H0, umumnya dimulai sejak umur TM ke-11. Penyadapan pada klon tersebut  dilakukan dengan cara mengiris panel kulit pulihan (BI) S/2 dan dikombinasi panel atas (H0) S/4U + etefon.  Penambahan irisan ¼SU + etefon di panel atas (H0) melalui penyadapan DC terbukti dapat mengoptimalkan perolehan produksi ketika panel bawah (BI) melemah. 

Penerapan sistem sadap DC seringkali di luar ekspektasi. Hal yang jelas terlihat adalah konsumsi kulit semenjak disadap DC terkesan semakin boros dan tren produksi menurun.  Padahal, sebenarnya hal  tersebut terjadi akibat kurang disiplin penjagaan mutu  sadap  dan  lemahnya  kontrol   sadap, sehingga mutu sadap jelek. Mutu sadap jelek utamanya ditandai dengan irisan tebal (>2,5 mm/sadap), panjang irisan panel atas (H0) > S/4U dan banyak luka kayu. Dampak jangka panjang yang timbul adalah panel habis sebelum waktunya. Hasil pengamatan di beberapa perkebunan karet  menunjukkan bahwa sekitar 22,2% mutu sadap DC tergolong baik, sedangkan 44,4% tergolong cukup baik, dan 33,3% tergolong jelek.  

Sistem sadap DC sudah memiliki panduan agar perolehan produksinya optimal, yaitu tergambar dalam tataguna panel sebagai berikut:

Idealnya, penyadapan DC dapat berlangsung selama 8 tahun, yaitu sejak TM ke-11 s.d ke-18. Potensi perolehan produktivitas per hektar per tahun  mencapai sekitar 2 ton/ha/th. Mutu sadap yang jelek dan kontrol sadap yang lemah mengakibatkan potensi tersebut tidak dapat dicapai. GPS atau produktivitas individu tanaman (gr/pohon/sadap) pada kondisi demikian biasanya juga sangat rendah, hanya berkisar 30-35 gr/pohon/sadap atau bahkan kurang. Padahal potensi atau idealnya adalah sekitar 50 gr/pohon/sadap.  

Potensi produksi dan umur ekonomi tersebut dapat dicapai jika penyadapan DC dilakukan secara benar, yaitu sebagai berikut:

  1. Penjagaan mutu sadap, terutama konsumsi kulit panel atas (H0).
  2. Evaluasi produksi secara lebih ketat, bahkan dalam satuan GPS.  Apabila GPS kurang dari potensinya, lakukan pengecekan :

- Apakah semua pohon tuntas disadap?

- Apakah semua panel tuntas disadap (jangan ada sadap pincang)?

- Apakah stimulan sudah efektif?

- Apakah waktu / durasi menyadap normal? dsb 

  1. Hindari penyadapan DC yang menimbulkan bark island atau cikalan. 

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Rouf, Mudita Oktorina Nugrahani, dan Yoga Bagus Setya Aji. 2020. Penerapan Sistem Sadap Irisan Ganda (Double Cut) Pada Klon Karet Slow Starter  (Studi kasus di beberapa perkebunan karet wilayah Jawa). Pros. Semnas PKM Center UNS. Hal: 194-198. 

Sumarmadji, Akhmad Rouf, Yoga Bagus Setya Aji, dan Titik Widyasari. 2017. Optimalisasi Produksi dan Penekanan Biaya Penyadapan dengan Sistem Sadap Intensitas Rendah. Warta Perkaretan  2017 Vol 36 No 1. Hal: 39-54. 

Sumarmadji, Junaidi, Atminingsih, Kuswanhadi, Akhmad Rouf. 2012. Paket teknologi penyadapan untuk optimasi produksi sesuai tipologi klon. Pros. Konf. Nas. Karet. Yogyakarta, 19-20 September 2012. Pusat Penelitian Karet. Hal: 207-216.

(Akhmad Rouf – Kelti Agronomi / Fisiologi Penyadapan Tanaman Karet)


Reduksi Emisi CO2 Dari Implikasi Teknologi Sekat Kanal Berbasis Komposit Karet Alam Di Lahan Gambut

Indonesia mempunyai sekitar 15 juta ha lahan gambut, dengan persentase penyebarannya terbesar di wilayah Sumatera, sebesar 43 %, sementara sisanya berada di Kalimantan dan Papua. Drainase pada lahan gambut untuk kegiatan pertanian dan perkebunan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan emisi CO2 . Drainase yang berlebihan berdampak terjadinya subsiden lahan serta peningkatan oksidasi dan emisi CO2 tanah gambut. Hasil subsiden penelitian Wakhid et al (2017)  menunjukkan subsiden pada gambut untuk tanaman karet berkisar 5,64 - 5,96 cm/tahun. Demikian juga penelitian Hooijer et al (2012) yang menunjukkan subsiden 5,4 cm/tahun pada tanaman kelapa sawit. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan  alat CO2/H2O gas analyzer merk LI-850 terlihat bahwa semakin rendah ketinggian muka air dari permukaan tanah, maka semakin tinggi laju emisi CO2 (Gambar 1). 


Gambar 1. Grafik hubungan antara akumulasi CO2 (µmol/mol) dan waktu (detik) pada berbagai ketinggian muka air dari permukaan tanah

Tata kelola air merupakan kunci untuk mengurangi emisi CO2. Pengaturan tinggi muka air tanah di lahan gambut ini dapat dilakukan dengan teknologi sekat kanal. Saat ini, sebagian besar pembuatan kanal yang dilakukan masyarakat maupun perusahaan belum mempertimbangkan pengaturan muka air dari lahan gambut. Kelemahan pembangunan sekat kanal yang dibuat secara tradisional dengan desain sederhana menggunakan kayu dan karung pasir adalah mudah bocor sehingga ketinggian muka air tidak dapat terjaga. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui teknologi sekat kanal berbasis komposit karet alam untuk mengatur drainase. Komposit karet alam memiliki kelebihan kedap air dan material penyokong sekat kanal seperti pasir, split, dan kerikil tidak mudah terhanyut.

Hasil implementasi dari teknologi sekat kanal berbasis komposit karet alam terbukti mampu menjaga tinggi muka air saat musim kering dan menurunkan subsiden pada lahan gambut. Selama periode musim kering (curah hujan < 50 mm), sekat kanal berbasis komposit karet alam mampu menahan air sebesar ± 15 cm di lahan gambut (Gambar 1). Reduksi emisi CO2 melalui perbedaan ketinggian muka air berdasarkan metode empirik adalah 34,73 ton CO2-eq/ha/hari atau  setara 12.506 ton CO2-eq/ha/tahun. 

Gambar 1. Perbedaan ketinggian muka air didalam (A) dan diluar sekat kanal (B) saat periode musim kering. Perbedaan ketinggian muka air ditnadai dengan air yang mengalir dari dalam ke luar sekat kanal

Daftar Pustaka :

Hooijer, A., Page, S., Jauhiainen, J., Lee, W. A., Lu, X. X., Idris, A., & Anshari, G. (2012). Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences, 9(3), 1053–1071. https://doi.org/10.5194/bg-9-1053-2012

Wakhid, N., Hirano, T., Okimoto, Y., Nurzakiah, S., & Nursyamsi, D. (2017). Soil carbon dioxide emissions from a rubber plantation on tropical peat. Science of The Total Environment, 581–582, 857–865. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2017.01.035


Rubber Downstream Sector Goes To Green

Increasing awareness of environmental sustainability has provoked rubber scientist and rubber compounder to develop green polymer and bio-based rubber chemicals when designing rubber compound formula. The concept of green polymer is implemented with the development of specialty natural rubber. Specialty natural rubber is made by chemical modification of natural rubber mainly in latex phase to substitute petro-based synthetic rubber. 

Natural rubber has weakness which can limit its usage in the manufacture of rubber goods primarily for outdoor application. Naturally, natural rubber exhibits low thermal oxidative aging resistance and swelled when immersed in oil or hydrocarbon solvent. This is due to the presence of high degree of unsaturated C double bond in its molecular chains and non-polar character of natural rubber although it also show high molecular weight with wide polydispercity index.

Commercial natural rubber latex is a white milky sap biopolymer derived from exploitation of rubber plant Hevea brasiliensis Muell Arg. Natural rubber molecules form 1,4 cis-configuration which composed of repeating monomer units of isoprene (2-methyl-1,3-butadiene). This biopolymer is highly potential to be modified chemically to enhance the property. Referred to Hashim and Ong (2007), chemical modification of natural rubber latex can be conducted through the following procedure :  

  1. Modification by bond rearrangement without introducing new atoms which lead to changes in the chemical structure and/or reduction in molecular weight. Ex : cyclization, deproteinization
  2. Modification by introducing a chemical group via addition or substitution reactions at the unsaturated double bonds. Ex : epoxidation, hydrogenation 
  3. Modification by grafting with one or two molecules usually vinyl monomers at the allylic carbon. This method is often applied in the synthesize of thermoplastic natural rubber. Ex : graft copolymerization of MMA ad styrene into natural rubber latex 

Research Center for Rubber Technology – Indonesian Rubber Research Institute (IRRI) has successfully developed a type of specialty natural rubber such as epoxidized natural rubber (ENR), hydrogenated natural rubber (HNR), and graft copolymerization MMA/Styrene/NR (NR-g-MMA/St) at laboratory scale. HNR was produced by IRRI had 60% degree of hydrogenation. This type of specialty natural rubber is regarded as promising material to substitute EPDM and Chloroprene rubber. Meanwhile, ENR is potential to be used to replace NBR as base material for oil resistant rubber product. Furthermore, the possibility usage of NR-g-MMA/St still need to be explored, one of them is an additive for polymer modified asphalt to eliminate Styrene Butadiene Styrene (SBS) role. 

In line with the development of specialty natural rubber, researchers are also has great interest in developing bio-based rubber chemicals. Rubber chemicals are added during rubber compounding process to improve rubber performance. Rubber chemicals include processing aid, rubber processing oil, reinforcing filler, antioxidant, antiozonant, activator, accelerator, and vulcanizing agent. Bio based rubber chemicals are made from renewable natural source. 

Sulfur vulcanization of vegetable oil at high temperature can produce brown factice. Brown factice is a cheap extender rubber-like material. The visualization of brown factice could be categorized from its colour, from yellow, brown to dark brown. Using brown factice in rubber compound improves the process-ability of the compound during extrusion and injection moulding, furthermore it is also provide excellent dimension stability of the rubber product.  Therefore, brown factice mainly use during the rubber seal and rubber hose manufacturing.

Pine tar oil is sticky dark liquid resulted from destructive distillation of wood of various trees of the family Pinaceae. This material is regarded as alternative bio plasticizer or rubber processing oil to substitute petro based aromatic oil. Pine tar oil play important role in increasing adhesion strength (rubber to rubber) of rubber compound. Therefore, pine tar oil is suitable to be added in rubber compound formulation for production of cushion gum. Cushion gum is a thin intermediate rubber compound layer which is applied on the casing outer surface to bond the pre-cured tread as adhesion medium of retread tyre.  

Santi Puspitasari

Rubber Technology Researcher  

Research Center for Rubber Technology 

Indonesian Rubber Research Institute 


Kunjungan Tamu Staf Khusus Gubernur SumSel

Kunjungan Tamu Staf Khusus Gubernur Provinsi Sumatera Selatan
Dr. Brigjen Purn. H. Zulkarnaen dan Ir. H. Kani Daah, MM ke Pusat Penelitian Karet Sembawa
yang diterima langsung oleh Kepala Pusat Penelitian Karet Dr. Edy Suprianto beserta Para Kepala Bagian
pada 9 Maret 2021, dalam rangka diskusi ringan terkait implementasi dan kemajuan sektor perkebunan karet dan sawit yang berbasis riset mendukung Visi dan Misi Gubernur:
“ Sumatera Selatan Maju, Petani Makmur “

Balon dan Payung

Sembawa Agropark memiliki spot foto yang instagramable untuk para pengunjung. Terdapat payung-payung warna-warni diudara dan juga ada bola warna-warni yang menggantung seolah terbang berterbangan